Nov
18Saya Deni, asli wonosobo, lama tinggal di Jogja, untuk pendidikan yang lebih memadai. Siang ini, saya menemani teman-teman Waroeng SS, untuk mengunjungi teman sesama difabel saya, saya tuna netra. Ini sebenarnya bukan kali pertama saya bertemu keluarga besar Waroeng SS, cuma saja saya menemui rekan-rekan yang baru yang saya kenal dari Waroeng SS ini.
Tujuan pertama kami, saya pilihkan untuk ke lokasi rumah rekan difabel dalam ingatan kuat saya terlebih dahulu, yaitu keluarga bapak Supriyadi daerah godean. Beliau pasangan suami-istri yang sesama tuna netra. Cerita hangat yang kami jumpai, beliau sedang membangun kamar praktik pijatnya, yang mana saat ini telah berpondasi, tinggal melanjutkan bangun dinding kamarnya.
Berikutnya tujuan kami beralih jauh ke arah barat dari tempat pertama, yaitu menjumpai pak Juwaini. Ia rekan saya, yang kenetraannya disebut low vision, ia masih bisa melihat obyek atau bayangan jika masih ada cahaya. Ia mengalami rusak retina mata di usia 30-an. Rekan Waroeng SS sambil memberikan bingkisan sembakonya, beliau sempat bercerita masih dapat berkreasi bikin kemasan berupa “besek” dan sesekali dapat panggilan dari warga sekitar untuk jasa pijatnya. Ia masih tinggal sendirian, suatu saat tetap berkeinginan memiliki pendamping hidup.
Terakhir, saya mengajak rekan Waroeng SS, menemui ibu Sri Ayem, yang kebetulan anaknya juga salahsatu karyawan Waroeng SS. Ibu Sri ini lebih berusia lanjut dari rekan-rekan sebelumnya yang kami jumpai. Seorang janda-suami meninggal, dengan dikaruniani dua anak. Kelak di usianya senja, ia tetap berkeinginan dapat memiliki kesempatan untuk mengasuh cucunya.
Hingga pun sore yang akan berlanjut waktu gelap. Harapan teman difabel ini tetap seterang keinginannya, berdaya dalam perjuangan kemampuan mereka. Sama seperti saya yang sedang menunggu pengumuman hasil pendaftaran CPNS jalur khusus difabel untuk menjadi aparatur di sebuah pemerintahan daerah periode tahun ini. (GW)